12 November 2014

Kisah no. 86

Kisah Yesus tentang Anak yang hilang (Lukas 15:11-32)

                Setelah memberi perumpamaan tentang domba dan koin yang hilang ditemukan, Yesus menambahkan satu lagi cerita tentang sukacita karena yang hilang ditemukan. Sekali lagi cerita-cerita ini ditujukan untuk menjawab secara implisit pertanyaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, “Mengapa pribadi seagung Yesus duduk makan dengan orang-orang berdosa?”. Jika mendengar awal-awal cerita Yesus ini, mungkin akan timbul rasa jengkel di hati yang mendengarnya. Bayangkan Yesus menceritakan seorang anak bungsu dari dua orang bersaudara yang berani datang ke bapanya meminta warisan. Warisan! Harta milik ayahnya yang akan diberikan kepadanya setelah bapanya itu meninggal. Warisan itu dia minta sekarang. Ayahnya belum mati. Keterlaluan anak bungsu itu. Anehnya sang bapa tidak menganggap itu keterlaluan, bahkan dengan rela ia memberikan sepertiga harta yang dia miliki kepada si bungsu, demikianlah jumlah warisan yang pantas diterima seorang anak bungsu. Dua pertiga sisanya adalah hak anak sulung. Mungkin secara tersirat Yesus sedang menunjukkan kasih yang sama di hati Bapanya di sorga. Kasih yang tidak memaksa.
Si bungsu terkejut dengan reaksi bapanya, sekaligus senang. Tidak pernah diperhitungkannya harta sebanyak itu. Tanpa pikir panjang dijualnya semua harta yang dia dapat itu. Lalu ia memtuskan pergi meninggalkan rumah bapanya. Apa tidak cukup tindakan ketelaluan yang diperbuatnya? Meminta warisan, menjualnya, sekarang pergi meninggalkan rumah. Tapi memang itu tujuannya semula. Ia tidak ingin hidup lagi diatur bapanya. Ia ingin bebas. Bebas mengatur hidup sendiri. Bebas mengejar kesenangan yang sudah ia bayangkan. Uang yang ada di tangannya sekarang akan membuat impian itu jadi kenyataan. Pergilah ia dari rumah bapanya.
Namun dia tidak benar-benar tahu hidup seperti apa yang dia bisa dapatkan di luar rumah bapanya. Impiannya sepertinya terwujud. Di negeri yang jauh itu, ia mulai memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Semua kenikmatan yang dunia tawarkan dia beli. Kesenangan yang lama dia bayangkan sekarang dia dapatkan. Namun kasihan sekali dia. Dia tidak sadar bahwa semua kesenangan ada harganya. Kesenangan yang benar, harganya dibayar sebelum dinikmati. Kesenangan palsu, harganya dibayar setelah dinikmati. Uang yang banyak pun akhirnya habis, sejalan dengan timbulnya bencana kelaparan di negeri itu. Melarat. Tidak ada kawan yang masih mau dekat dengan dia. Hidup harus jalan terus. Ia pun mencari perkerjaan dan mendapatkannya dari seorang  majikan di negeri itu. Pelariannya mengubah status si bungsu, dulu anak sekarang budak.  Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Pekerjaan yang najis bagi seorang Israel. Betapa terpuruknya hidup si bungsu kali ini. Celakanya ongkos kerjanya juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya. Ia berusaha minta makanan yang di makan babi-babi itu. Biasanya babi-babi di Israel makan ialah biji buah pohon roti (ceratonia, terolong kacang-kacangan). Tapi itupun tidak boleh. Dia harus bekerja dan makan seadanya.
Dalam kondisi seperti itu, si bungsu mulai sadar. “Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.” Sadar bahwa hidup di rumah bapanya jauh lebih nikmat dari apa yang bisa ditawarkan dunia. Apakah ketika menceritakan ini Yesus sedang menerangkan makna dari sebuah pertobatan? Bisa jadi. Pertobatan di mulai dengan kesadaran bahwa Allah adalah sumber kesenangan atau kebahagiaan.  Kesenangan tinggal dekat Allah tidak bisa dibandingkan dengan kesenangan yang diberikan dunia. Terlalu besar. Kesadaran itu membuat si bungsu bangkit dan pulang ke ruma bapanya. Kali ini tidak berani ia datang dengan sebuah tuntutan, namun memohon kemurahan “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” Sadar keberdosaannya. Cukup saja dijadikan orang upahan, dia sudah bahagia.
Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya. Anak yang tidak tahu diri itu menunjukkan batang hidungnya. Marahkah sang bapa? Yesus menceritakan yang sebaliknya. Tergeraklah hati sang bapa oleh belas kasihan. Kasih yang menggerakkan sang bapa berlari mendapatkan anaknya yang hilang. Anak ini miliknya yang berharga. Anak ini hilang. Anak ini ditemukan. Ada sukacita yang besar.  Dirangkul dan diciumlah si bungsu. Anak itu bingung sekaligus ragu. Sambil gemetar dia berkata, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.” “Tidak layak?”, tanya sang bapa. Segera dipanggil hamba-hambanya, katanya “Di hadapanku ini adalah anakku. Lekas  bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya.” Yang hilang sudah ditemukan, Yang jatuh jadi budak telah bangkit menjadi anak. Rayakan dengan pesta. “Ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”, seru sang bapa. Maka mulailah mereka bersukaria. Sama seperti sorga bersukaria ketika satu jiwa bertobat. Allah setia. Allah mengampuni dosa. Allah bersuka atas pertobatan.
Itulah 3 cerita tentang yang hilang ditemukan. Allah dan seisi sorga bersukacita atas peristiwa pertobatan itu. Tunggu dulu. Masih ingatkan di awal Yesus menyebutkan ada 2 anak di rumah sang Bapa. Anaknya yang sulung itu rajin bekerja  di ladang. Hari itu, waktu ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu.  Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. “Apa? Ayahku membuat pesta untuk adikku yang tidak tahu aturan itu?”, batin si sulung bergejolak.  Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.  Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.  Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia”.  Kata ayahnya kepadanya “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”
 Anak sulung begitu cemburu dengan perlakuan bapanya kepada adiknya. Tidak pantas ia menerimanya. Tapi bapanya segera mengingatkan bahwa kebahagiaan si sulung sudah genap selama tinggal dengan dia. Tidak ada yang kurang. “Sekarang bersukacitalah karena adikmu sudah menyadari bahwa tinggal di rumahku adalah tempat terbaik untuk dia. Dia pulang. Dia di sini. Sambutlah. Berpestalah bersama kami”, ajak sang bapa. “Hai orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat jangan cemburu. Ikutlah bahagia karena orang-orang berdosa ini telah sadar kembali mengikut jalan-jalan Allah. Kemarilah, duduk dan makan bersama kami”, ajak Yesus.

Sumber:
1.       Alkitab, LAI.
2.       Kurikulum CDG Kisah Perjanjian Baru, Pelajaran 86.
3.       Sejarah Kerajaan Allah 2.

4.       Kesenangan ada harganya. Kesenangan yang benar, harganya dibayar sebelum dinikmati. Kesenangan palsu, harganya dibayar setelah dinikmati”, kutipan dari Cries of The Heart, Ravi Zacharias, halaman 179.

No comments:

Post a Comment