Kisah no. 82
Yesus menjawab pertanyaan terpenting tentang kasih
(Lukas
10:25-37)
Dalam pelayanan-Nya, Yesus bertemu
banyak orang yang bersoal jawab dengan-Nya. Bermacam-macam pula motivasi
dibalik pertanyaan-pertanyaan mereka. Salah seorang yang menemui Dia di kisah
ini adalah seorang ahli Taurat yang datang dengan sebuah pertanyaan kepada
Yesus, "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang
kekal?". Yesus segera menangkap motivasi di balik pertanyaan itu. Ahli taurat
itu hanya sekedar menguji pengetahuan Yesus, layakah Dia disebut sebagai guru.
Beda dengan seorang ahli taurat muda yang kemudian hari juga datang menemui dan
mengajukan pertanyaan kepada Yesus (Lukas 18:18). Pertanyaannya lahir dari
pergumulan di hatinya sendiri dan dia ingin mendapat jawaban yang melegakan dia
secara pribadi. Sedang di kisah ini, ahli taurat itu bertanya untuk sekedar
memberi Yesus ujian teori.
Dia bertanya tentang apa yang dia harus lakukan. Seperti
itulah pola pikir yang ada dibenak seluruh orang Yahudi. Mereka dididik bahwa
untuk mendapatkan hidup kekal, mereka perlu melakukan semua tuntutan hukum
Taurat. Mereka tidak sadar bahwa hidup kekal adalah anugerah yang hanya bisa diberikan oleh Allah. Untuk maksud itulah
Yesus datang ke dunia. Di kayu saliblah anugerah tersedia bagi setiap orang
yang mau percaya kepada Yesus. Itu jugalah menjadi langkah awal manusia
memperoleh hidup yang kekal. Yesus pun menjawab dia dengan sebuah pertanyaan
tentang hukum Taurat. “Kalau kamu pelajari hukum Taurat, apa sebenarnya yang dituliskan
atau dimaksudkan di sana?”
Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri." Yang pertama dikutipnya dari Ulangan 6:5 dan
satunya lagi dari Imamat 19:18b. Kedua ayat itu dipercayai sebagai intisari
dari Taurat. Yesus sangat setuju dengan jawaban itu. Bahkan, dalam satu percakapan
lain, Yesus juga menekankan kedua hukum kasih tersebut (Matius 22:37-39). Kata
Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar…”, seolah-olah Yesus ingin menegaskan
dia sudah tau, dan hanya ingin mencobai Yesus. “perbuatlah demikian, maka
engkau akan hidup." Kalau sudah tahu, ya lakukan.
Untuk menutupi rasa malu karena
Yesus bisa membaca niatnya, segera ia mengajukan pertanyaan selanjutnya, “lalu
menurut guru, siapakah sesamaku manusia?”. Sekali lagi pertanyaan itu
diajukannya hanya untuk membenarkan dirinya sendiri. Menyedihkan jika melihat banyak orang yang datang dan mencari jawaban
dari Yesus hanya untuk membenarkan diri mereka sendiri. Sang ahli sedang
mempertanyakan apa kriteria sesamanya yang layak untuk dikasihinya. Jawaban
Yesus sangat menarik karena diberikan dalam sebuah cerita. Dia sering melakukan
ini ketika menjawab pertanyaan, dia bercerita lalu balik bertanya.
Diceritakan-Nya tentang seorang
yang dirampok dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Jalan itu memang
terkenal daerah rawan perampokan. Bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi gerombolan
perampok juga memukulinya dan pergi meninggalkannya dalam kondisi setengah
mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu,
tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke
tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
Entah kenapa Yesus memakai kedua tokoh itu untuk menceritakan keacuhan pada
penderitaan orang yang dirampok itu. Apakah mungkin karena Yesus ingin
memperlihatkan bahwa tokoh terpandang pun bisa terjebak kepada ketidakpedulian.
Berbeda dengan tokoh yang ketiga.
Tokoh ketiganya adalah seorang
Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat
orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Pada jaman itu orang Samaria
dianggap sebela mata oleh orang Yahudi, karena orang Samaria telah berkawin campur
dengan bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka. Melihat orang yang dirampok dalam
kondisi sekarat, tergeraklah hati orang
Samaria dengan belas kasihan. Segera dia bertindak, mendatangi, lalu membersihkan
luka-luka orang itu dengan menyiraminya pakai minyak dan anggur. Setelah dibebatnya
luka-luka yang ada, kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya
sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Belas kasihan yang timbul di hatinya
berlanjut di tindakan kasih yang nyata dan praktis. Keesokan harinya ia
menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan
jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Pertolongannya penuh tanggung jawab dan
totalitas. Ada pengorbanan, waktu tersita, tidak nyaman tidak jarang uang
harus dikeluarkan sebagai wujud kasih terhadap sesama.
Setelah menceritakan kisah itu,
Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu,
adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?". Cerita
orang Samari itu bukan Yesus ceritakan untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat,
tapi untuk mengubah pertanyaannya yang salah. Yesus menyebutkan sebuah pertanyaan
yang tepat. Pertanyaan yang berbeda dengan apa yang diajukan ahli Taurat itu. Orientasi
berubah. Ahli Taurat bertanya tentang
sesama manusia yang cocok dan menguntungkan dirinya. Pusatnya adalah dirinya.
Sedangkan Yesus berpusat justru kepada mereka yang butuh pertolongan, siapa yang
dapat menjadi sesama manusia buat mereka.
Inilah cara Yesus membetulkan
pertanyaan yang sering muncul dalam hidup manusia. “Apa kategori orang yang
layak ditolong?”. Bagi Yesus pertanyan itu keliru. Bahkan di kisah itu, Yesus
sama sekali tidak menceritakan detail orang yang dirampok itu, yang dia
kategorikan justru orang yang menolong. Bukan karena statusnya orang akan
menolong sesamanya, tapi karena hati yang digerakan belas kasihan. Dengan
alergi menyebut orang Samaria, Ahli Taurat itu menjawab, "Orang yang telah menunjukkan belas
kasihan kepadanya”. Ahli Taurat itu bisa menjawab apa yang Yesus tanyakan,
namun tak cukup sampai di situ.
Kata Yesus kepadanya:
"Pergilah, dan perbuatlah demikian!". Pergilah jadi orang yang
memiliki hati yang baru, hati yang penuh dengan belas kasihan. Kelak di atas
kayu salib, Yesus menggenapi hukum kasih ini. Manusia yang tidak layak masuk
dalam kategori ditolong, justru manusia itulah yang ditebus dosa-dosanya oleh
Yesus. Semua karena belas kasihan. Hati Allah digerakan belas kasihan atas
nasib manusia yang akan binasa oleh dosa, maka Yesus tergantung di salib
menjadi korban penebusan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa tapi
beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Di salib itu juga hati penuh dengan
kasih kepada Allah dan sesamanya dibentuk. “Pergilah…”
Sumber:
1.
Alkitab, LAI.
2.
Kurikulum CDG Kisah Perjanjian Baru, Pelajaran
82.
3.
Sejarah Kerajaan Allah 2.
No comments:
Post a Comment