Kisah no. 83
Terang dunia yang memberi terang
kepada mereka yang buta
(Yohanes
9)
Ada sebuah anggapan umum di antara orang Yahudi bahkan
diajarkan para nabi, bahwa segala macam bentuk bencana, kemiskinan, penyakit
dan cacat tubuh adalah bentuk hukuman Allah atas dosa orang yang menderita itu.
Waktu murid-murid melihat seorang pengemis buta di salah satu pintu gerbang
Bait Allah, mereka pun bertanya kepada Yesus, “Guru, siapakah yang berbuat
dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?”.
Mereka sepakat dengan anggapan umum bahwa orang buta itu sakit karena dosa,
tapi masalahnya dia buta sejak lahir, murid-murid bingung dosa siapakah yang
menyebabkan orang itu jadi buta.
Jawaban
Yesus mengejutkan mereka, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena
pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Yesus ingin membetulkan
cara berpikir mereka bahwa memang ada penderitaan sebagai akibat dari dosa,
namun banyak juga penderitaan yang dialami manusia tidak ada hubungannya dengan dosa. Yesus menyebutnya
sebagai ada maksud Allah di dari semua itu. Ia
ingin mengajarkan hukum yang lebih tinggi dari hukum sebab akibat dalam sebuah
peristiwa, yaitu hukum pekerjaan dan rencana Allah di balik semua peristiwa
yang terjadi. Singkatnya, jangan tanyakan penyebab di masa lalu dari
kebutaan orang itu (the cause from the past) tapi tanyakan tujuan mengapa dia buta (the future purpose). Allah dalam hikmat-Nya yang tak terbatas
berdaulat atas apa yang terjadi dalam hidup ini. Kesadaran akan kebenaran itu
akan membawa manusia menyembah Dia.
Setelah Yesus mengatakan semuanya
itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludah-Nya itu dengan tanah, lalu
mengoleskannya pada mata orang buta tadi
dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam
Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu,
ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek. Adapun hari waktu
Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu, adalah hari Sabat. Ya, di
hari Sabat, hari di mana semua orang Yahudi tahu bahwa mereka tidak boleh
melakukan pekerjaan sama sekali. Tapi di Sabat itulah awal dimulai rencana
Allah dalam hidup orang buta itu digenapi.
Apa yang Yesus lakukan, mengaduk
ludah dengan tanah, melanggar hukum untuk hari Sabat. Membuat adonan dilanggar
keras pada waktu Sabat. Apalagi adonan yang Yesus buat adalah bahan-bahan
kotor. Benarkah Yesus melanggar Sabat? Tentunya tidak. Yesus justru ingin
menunjukkan bahwa dialah Tuhan atas hari Sabat (Matius 12:8). Dia ingin
menjelaskan arti Sabat yang sesungguhnya. Sabat
itu hari perhentian. Perhentian untuk apa? Untuk mengalami pekerjaan Allah
dalam hidup manusia. Sabat itu hari
kesembuhan. Orang buta itu mengalami kesembuhan tidak hanya secara fisik
tapi mata rohaninya pun melek di hari Sabat itu. Dia bertemu dengan terang
dunia seperti yang Yesus nyatakan tentang diri-Nya (ayat 5). Itulah Sabat yang
sesungguhnya. Biarlah setiap manusia yang merayakan Sabat sampai hari ini juga
mengalami kesembuhan jasmani dan rohani dari Tuhan.
Peristiwa kesembuhan itu sendiri terjadi
di kolam Siloam. Air kolam siloam adalah kiriman dari sumber air yang jauh di
luar kota. Oleh sebab itu, kolam itu dinamai siloam (perpanjangan, diutus).
Juga merupakan sumber air untuk aktivitas keagamaan di Bait Suci. Entah sengaja
atau tidak Yohanes menuliskan detail pekerjaan mujizat Yesus ini, seolah-olah
dia menggarisi bawahi maksud Yesus yang ingin menunjukkan bahwa seperti kolam
itu, Yesus juga seorang utusan. Yesus adalah utusan dari Allah di sorga sebagai
aliran air yang membawa kehidupan bagi manusia yang menerima-Nya (bandingkan
Yohanes 4:10-11). Dan itulah yang Yesus maksudkan dengan ‘mengerjakan pekerjaan
Dia yang mengutus Aku”.
Kesembuhan orang buta itu
menimbulkan rasa penasaran tetangga-tetangganya. Si orang buta yang sudah melek
itu menceritakan apa yang Yesus lakukan kepadanya. Tetangga-tetangganya itu
membawa dia ke hadapan orang-orang Farisi. Di hadapan mereka, orang yang
tadinya buta itu juga menceritakan hal
yang sama tentang kesembuhan yang dia terima dari Yesus. Waktu mendengar
ceritanya, orang-orang Farisi terpecah menjadi dua. Ada yang menyebut Yesus
sebagai orang berdosa karena melanggar hari Sabat, namun sebagian bertanya
kalau dia berdosa bagaimana Dia bisa membuat mujizat seperti itu. Tiba-tiba
mereka mengajukan sebuah pertanyaan kepada pengemis itu, "Dan engkau,
apakah katamu tentang Dia, karena Ia telah memelekkan matamu?". Jawaban
yang terlontar dari mulutnya sangat mengharukan. Sebelumnya dia menjelaskan
kepada tetangga-tetangga dan orang Farisi bahwa yang menyembuhkan dia adalah ‘seorang
yang disebut Yesus’. Sekarang justru dibawah tekanan intimidasi orang-orang
Farisi, terlontarlah pengakuan dari mulutnya, “Ia adalah seorang nabi”. Tegas
dan lugas menunjukkan keyakinannya. Jawaban tulus ini membuat orang-orang Farisi
itu geram. Semua pengakuan tentang Yesus sebagai mesias, nabi, anak Allah
membuat mereka sangat marah.
“Jangan-jangan dia ini tidak buta
sebelumnya,” sahut seorang dari antara orang-orang Farisi itu. Lalu mereka
memanggil orang tuanya, ini dilakukan dengan harapan apa yang terjadi itu
rekayasa, pengemis itu tidak benar-benar sembuh. Kesaksiaan orang tua justru memantapkan
fakta memang anak mereka dahulu buta dan
sekarang sembuh. Walaupun mereka tidak berani mendukung peristiwa kesembuhan
anak mereka oleh Yesus. Orang-orang Farisi sangat disegani waktu itu. Kali ini
mereka sepakat untuk menghasut orang yang tadinya buta itu untuk menyangkali
apa yang Yesus lakukan bagi dia. Entah apa yang dirasakan seorang pengikut
Tuhan ketika dalam intimidasi seperti itu? Apalagi orang tuanya juga ketakutan
dan tidak berani mendukung dia sepenuhnya. Namun Allah membuat pengenalan akan Yesus itu
semakin lama semakin dalam dan mendatangkan keberanian dalam diri mantan orang
buta itu.
"Katakanlah kebenaran di
hadapan Allah; kami tahu bahwa Yesus itu orang berdosa." Sebuah permintaan
yang diajukan sepanjang masa sampai hari ini.
Manusia diminta untuk memuliakan Allah namun disaat yang sama menyangkal Yesus.
Inilah kesesatan rohani. Jawaban apa yang tepat untuk meluruskan kesesatan
itu? Pengemis yang dulunya buta itu mencontohkannya. "Apakah orang itu
orang berdosa, aku tidak tahu; tetapi satu hal aku tahu, yaitu bahwa aku tadinya buta, dan sekarang dapat
melihat." Dia tidak bisa menyangkal pekerjaan Yesus yang nyata bagi
dia. Tidak didengarnya lagi tentang Yesus dari kata orang. Yesus hadir dan
menyentuh hidupnya secara nyata dan pribadi. Aku tadinya buta, dan sekarang
dapat meihat (I was blind, now I see). Kesaksiaan pribadi memang berkuasa menjadi penawar yang tepat dari
kesesatan rohani dari orang-orang yang meragukan ketuhanan Yesus.
Kata mereka kepadanya: "Apakah
yang diperbuat-Nya padamu? Bagaimana Ia memelekkan matamu?". Jawabnya: "Telah kukatakan kepadamu, dan
kamu tidak mendengarkannya; mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi?
Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?". Keberanian itu semakin
bertumbuh. Sambil mengejek mereka berkata kepadanya: "Engkau murid orang
itu tetapi kami murid-murid Musa. Kami
tahu, bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu kami
tidak tahu dari mana Ia datang." Jawab orang itu kepada mereka: "Aneh juga
bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, sedangkan Ia telah memelekkan
mataku. Kita tahu, bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan
orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai
sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang
yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat
berbuat apa-apa." Perkataan-perkataan orang buta yang sudah tidak buta
lagi itu menunjukkan kebutaan orang Farisi dalam memahami dan mengenal siapa
Yesus yang sesungguhnya. Argumennya terlihat sederhana, tapi karena mata rohani
orang-orang Farisi itu sangat buta, tak mampu dilihatnya Yesus sebagai terang
dunia. Kalimat selanjutnya semakin membuktikan kebutaan rohani mereka, “Engkau ini
lahir sama sekali dalam buta karena dosa dan engkau hendak mengajar kami?".
Lalu mereka mengusir dia keluar.
Ini bukanlah perkara dia hanya di usir keluar ruangan. Ada beberapa langkah
dalam menegakan hukum Taurat. Dalam pelanggaran ringan, orang yang bersalah
akan diperingatkan. Ada yang untuk sementara diusir ke luar dari rumah ibadat
(biasanya 30 hari lamanya) dan yang paling tinggi adalah pemberian kutuk
(kherem). Tidak boleh sama sekali mereka datang ke Bait Suci dan dilarang
bergaul dengan orang Yahudi. Mendengar apa yang dialami orang itu, Yesus datang
menemuinya. Sebuah inisiatif dari Sang Gembala mengumpulkan domba-dombanya
(diceritakan Yohanes di pasal selanjutnya)
Tanya Yesus kepadanya, "Percayakah
engkau kepada Anak Manusia?". Jawabnya: "Siapakah Dia, Tuhan? Supaya
aku percaya kepada-Nya." Yesus segera menyatakan diri-Nya yang
sesungguhnya, “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang
berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!". Sebuah pengakuan pun meluncur
dari mulut orang itu, "Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud
menyembah-Nya. Inilah puncak dari kisah yang diceritakan Yohanes ini. Dari
seorang yang lahir buta karena rencana Allah yang harus dinyatakan. Dia
disembuhkan oleh ‘orang itu’ yang kemudian dia sebut nabi. Dan akhirnya, dipanggilnya Yesus secara
pribadi sebagai ‘Tuhan’ dengan tersungkur di hadapan-Nya. Bukan sekedar
tersungkur, tapi ‘proskuneo’ (Yunani), enam kali dipakai dalam Injil untuk
menunjukkan sikap penyembahan. Untuk
inilah Yesus datang ke dunia, mencari seorang penyembah.
Kata Yesus selanjutnya "Aku
datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat,
dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta." Kata-kata
itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata
kepada-Nya: "Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?". Jawab Yesus kepada mereka: "Sekiranya
kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka
tetaplah dosamu." Hati yang keraslah
musuh utama dari penyembahan.
Sumber:
1.
Alkitab, LAI.
2.
Kurikulum CDG Kisah Perjanjian Baru, Pelajaran 83.
No comments:
Post a Comment