13 October 2014

Kisah no. 82

Yesus menjawab pertanyaan terpenting tentang kasih 
(Lukas 10:25-37)

Dalam pelayanan-Nya, Yesus bertemu banyak orang yang bersoal jawab dengan-Nya. Bermacam-macam pula motivasi dibalik pertanyaan-pertanyaan mereka. Salah seorang yang menemui Dia di kisah ini adalah seorang ahli Taurat yang datang dengan sebuah pertanyaan kepada Yesus, "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?". Yesus segera menangkap motivasi di balik pertanyaan itu. Ahli taurat itu hanya sekedar menguji pengetahuan Yesus, layakah Dia disebut sebagai guru. Beda dengan seorang ahli taurat muda yang kemudian hari juga datang menemui dan mengajukan pertanyaan kepada Yesus (Lukas 18:18). Pertanyaannya lahir dari pergumulan di hatinya sendiri dan dia ingin mendapat jawaban yang melegakan dia secara pribadi. Sedang di kisah ini, ahli taurat itu bertanya untuk sekedar memberi Yesus ujian teori.
Dia bertanya tentang apa yang dia harus lakukan. Seperti itulah pola pikir yang ada dibenak seluruh orang Yahudi. Mereka dididik bahwa untuk mendapatkan hidup kekal, mereka perlu melakukan semua tuntutan hukum Taurat. Mereka tidak sadar bahwa hidup kekal adalah anugerah yang hanya bisa diberikan oleh Allah. Untuk maksud itulah Yesus datang ke dunia. Di kayu saliblah anugerah tersedia bagi setiap orang yang mau percaya kepada Yesus. Itu jugalah menjadi langkah awal manusia memperoleh hidup yang kekal. Yesus pun menjawab dia dengan sebuah pertanyaan tentang hukum Taurat. “Kalau kamu pelajari hukum Taurat, apa sebenarnya yang dituliskan atau dimaksudkan di sana?”
 Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Yang pertama dikutipnya dari Ulangan 6:5 dan satunya lagi dari Imamat 19:18b. Kedua ayat itu dipercayai sebagai intisari dari Taurat. Yesus sangat setuju dengan jawaban itu. Bahkan, dalam satu percakapan lain, Yesus juga menekankan kedua hukum kasih tersebut (Matius 22:37-39). Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar…”, seolah-olah Yesus ingin menegaskan dia sudah tau, dan hanya ingin mencobai Yesus. “perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." Kalau sudah tahu, ya lakukan.
Untuk menutupi rasa malu karena Yesus bisa membaca niatnya, segera ia mengajukan pertanyaan selanjutnya, “lalu menurut guru, siapakah sesamaku manusia?”. Sekali lagi pertanyaan itu diajukannya hanya untuk membenarkan dirinya sendiri. Menyedihkan jika melihat banyak orang yang datang dan mencari jawaban dari Yesus hanya untuk membenarkan diri mereka sendiri. Sang ahli sedang mempertanyakan apa kriteria sesamanya yang layak untuk dikasihinya. Jawaban Yesus sangat menarik karena diberikan dalam sebuah cerita. Dia sering melakukan ini ketika menjawab pertanyaan, dia bercerita lalu balik bertanya.
Diceritakan-Nya tentang seorang yang dirampok dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Jalan itu memang terkenal daerah rawan perampokan. Bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi gerombolan perampok juga memukulinya dan pergi meninggalkannya dalam kondisi setengah mati. Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. Entah kenapa Yesus memakai kedua tokoh itu untuk menceritakan keacuhan pada penderitaan orang yang dirampok itu. Apakah mungkin karena Yesus ingin memperlihatkan bahwa tokoh terpandang pun bisa terjebak kepada ketidakpedulian. Berbeda dengan tokoh yang ketiga.
Tokoh ketiganya adalah seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Pada jaman itu orang Samaria dianggap sebela mata oleh orang Yahudi, karena orang Samaria telah berkawin campur dengan bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka. Melihat orang yang dirampok dalam kondisi sekarat, tergeraklah hati orang Samaria dengan belas kasihan. Segera dia bertindak, mendatangi, lalu membersihkan luka-luka orang itu dengan menyiraminya pakai minyak dan anggur. Setelah dibebatnya luka-luka yang ada, kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Belas kasihan yang timbul di hatinya berlanjut di tindakan kasih yang nyata dan praktis. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Pertolongannya penuh tanggung jawab dan totalitas. Ada pengorbanan, waktu tersita, tidak nyaman tidak jarang uang harus dikeluarkan sebagai wujud kasih terhadap sesama.
Setelah menceritakan kisah itu, Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?". Cerita orang Samari itu bukan Yesus ceritakan untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat, tapi untuk mengubah pertanyaannya yang salah. Yesus menyebutkan sebuah pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang berbeda dengan apa yang diajukan ahli Taurat itu. Orientasi berubah. Ahli Taurat bertanya  tentang sesama manusia yang cocok dan menguntungkan dirinya. Pusatnya adalah dirinya. Sedangkan Yesus berpusat justru kepada mereka yang butuh pertolongan, siapa yang dapat menjadi sesama manusia buat mereka.
Inilah cara Yesus membetulkan pertanyaan yang sering muncul dalam hidup manusia. “Apa kategori orang yang layak ditolong?”. Bagi Yesus pertanyan itu keliru. Bahkan di kisah itu, Yesus sama sekali tidak menceritakan detail orang yang dirampok itu, yang dia kategorikan justru orang yang menolong. Bukan karena statusnya orang akan menolong sesamanya, tapi karena hati yang digerakan belas kasihan. Dengan alergi menyebut orang Samaria, Ahli Taurat itu menjawab,  "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya”. Ahli Taurat itu bisa menjawab apa yang Yesus tanyakan, namun tak cukup sampai di situ.
Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!". Pergilah jadi orang yang memiliki hati yang baru, hati yang penuh dengan belas kasihan. Kelak di atas kayu salib, Yesus menggenapi hukum kasih ini. Manusia yang tidak layak masuk dalam kategori ditolong, justru manusia itulah yang ditebus dosa-dosanya oleh Yesus. Semua karena belas kasihan. Hati Allah digerakan belas kasihan atas nasib manusia yang akan binasa oleh dosa, maka Yesus tergantung di salib menjadi korban penebusan, supaya setiap orang  yang percaya kepada-Nya tidak binasa tapi beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Di salib itu juga hati penuh dengan kasih kepada Allah dan sesamanya dibentuk. “Pergilah…”

Sumber:
1.       Alkitab, LAI.
2.       Kurikulum CDG Kisah Perjanjian Baru, Pelajaran 82.

3.       Sejarah Kerajaan Allah 2. 

No comments:

Post a Comment